Senin, 02 November 2009

Kesatuan Umat sebagai Kunci Membebaskan al-Aqsha


Liputan Seminar Internasional Al-Aqsha Haqquna
Bandung - "Kunci membebaskan-Al_Aqsha adalah dengan berjama'ah, terpimpin, bersatau dalam satu kesatuan jamaah dan imaamah," demikian ditandaskan KH Yakhsyallah Mansur,MA dalam sessi sidang Seminar Internasional Al-Aqsha Haqquna yang diselenggarakan Jama'ahMuslimin
(Hizbullah) Wilayah Jawa Barat di Bandung (1/11).
Hanya dengan berjama’ah, umat Islam dapat merebut kembali mesjid al-Aqshadari musuh-musuhnya sebagaimana yang telah terbukti pada masa Umar bin Khaththab dan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, ujar Mudir Ma'had Al-Fatah Bogor itu.
Ia memaparkan, dalam kajian historis disebutkan, sebelum Shalahuddin Al-Ayubimembebaskan Masjid Al-Aqsha, Sultan ia terlebih dahulu bekerja keras menyatukan umat umat Islam di Syam, Yaman, Mesir, Burqah, dan kawasan sekitar palestina, dalam satu pimpinan.

"Setelah umat Islam bersatu di bawah kepemimpinannya, maka Masjid Al-Aqsha dapat dibebaskan setelah kurang lebih 90 tahun di bawah kekuasaan kaum Salib," tandasnya.
Ia menguraikan, hal ini juga dirasakan umat Islam ketika mereka bersatu di bawah Dinasti Turki Utsmani. Dalam sejarahnya yang panjang selama 688 tahun (1299 – 1922), umat Islam dapat memimpin dunia, bahkan bangsa Yahudi musuh Islam paling keras, mereka dilindungi oleh umat Islam. Selama lebih dari 500 tahun, Dinasti Utsmani menjadi surga bagi pengungsian Yahudi yang diusir dan dibantai oleh kaum Kristen Eropa. Namun keharmonisan itu berakhir menyusul kemunculan gerakan Zionis Yahudi pada abad ke-19 yang memaksakan kehendak untuk mendirikan negara Yahudi di bumi Palestina.
Melalui lobi Yahudi, gerakan Zionis di bawah pimpinan Theodore Hertzl dengan berbagai cara, mereka meminta kepada Sultan Hamid II untuk menyetujui pendirian negara bagi Yahudi di Palestina. Namun Sultan menjawab dengan tegas, ”Saya tidak dapat menjual, walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), yang bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah memenangkan kesultanan ini dengan bertempur untuknya, dengan mengucurkan darah mereka dan menyuburkan tanah ini dengan darah mereka. Kami akan melindungi tanah ini dengan darah kami sebelum kami mengizinkannya dirampas dari kami. Turki Utsmani bukanlah milikku tetapi untuk rakyat Turki. Saya tidak dapat memberikan bagian manapun dari tanah ini. Silakan Yahudi menabung milyaran (uang) mereka. Jika kekhalifahanku sudah terbagi-bagi, mereka mungkin akan mendapatkan Palestina tanpa imbalan.”
Pada kesempatan lain, Sultan Abdul Hamid II berkata, ”Mengapa kami harus melepaskan al-Quds?... Sesungguhnya al-Quds adalah bumi milik kami selamanya. Dan ia akan tetap demikian, yaitu sebagai bagian dari kota-kota suci kami yang ada di bumi Islam. Karena itu, al-Quds harus tetap bersama kami.”
Namun harapan Sultan Abdul Hamid II untuk tetap mempertahankan al-Quds itu pupus bersamaan dengan diruntuhkannya Dinasti Turki Utsmani oleh konspirasi Zionis Yahudi melalui tangan Musthafa Kamal Pasha. Theodore Hertzel mengatakan pada Konferensi Zionis Internasional I di Basel (1897): "Pembebasan Palestina oleh bangsa Yahudi sangat tergantung dengan hancurnya Khilafah Utsmaniyah." Dengan runtuhnya Dinasti Turki Utsmani, tidak ada kekuatan yang dapat mempersatukan dan melindungi umat Islam secara menyeluruh. Akhirnya satu per satu wilayah Islam dikuasai oleh musuh-musuhnya termasuk al-Quds dapat dikuasai oleh Zionis Israil.
"Inilah bukti kuat bahwa hanya dengan berjama’ah maka Islam dapat mengembalikan mesjid Al-Aqsha dan mempertahankannya dari tangan-tangan orang yang tidak berhak yang ingin menguasainya, Allahu Akbar," teriaknya. (aqshaworkinggroup.com).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar