Banyak yang melihat sejarah partai Islam adalah sejarah konflik internal. Di mata Dr Hidayat Nurwahid, pandangan itu tak selalu benar.
Saat partai Islam tumbuh subur di awal reformasi, sejumlah kalangan khawatir hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan di kalangan para politisi yang mengusung ideologi agama itu. Daniel Lev (alm), Indonesianist asal AS, merupakan salah satu pemikir yang paling khawatir dengan potensi konflik yang akan dihadirkan partai-partai politik berbasis Islam. Namun, Hidayat Nurwahid tidak sependapat dengan Lev. Perjalanannya dalam membangun sekaligus membesarkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuat dirinya berbeda pandangan dengan para ilmuwan. "Kekhawatiran Lev itu tidak benar. Buktinya, partai yang saya dirikan (PKS, Red) hampir tidak ada konflik di dalamnya. Sebaliknya, justru sebagian partai yang membawa asas nasionalis, konfliknya jauh lebih mengerikan," kata dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Sebagai salah satu tokoh partai Islam, Hidayat mengaku prihatin melihat kondisi politik nasional yang cenderung lekat dengan nuansa konflik dan perpecahan. Menurut dia, situasi politik yang patologis itu dipengaruhi karakter dasar partai yang dibangun oleh paradigma kolektif para pengurusnya. Hal itu bisa dipahami melalui pertanyaan sederhana, sebenarnya, mengapa, dan untuk apa mendirikan sebuah parpol?
"Jika sejak awal dasarnya bukan ditujukan semata-mata untuk meraih kekuasaan, tetapi untuk mengartikulasikan gagasan melayani umat, dan mengartikulasikan organisasi sebagai sarana penyebaran dakwah, tentu dengan mudah konflik bisa dihindari," ujarnya.
Dalam hal ini Hidayat memberikan perumpamaan sederhana. Andaikata kita berada di restoran, kemudian para pelayan konflik melulu, bisa dipastikan sebentar lagi restoran itu tidak akan didatangi orang lagi, alias bangkrut.
Demikian pula partai. Jika partai politik diorientasikan semata-mata pada perebutan kekuasaaan, konflik akan leluasa bermain di dalamnya. Tetapi, jika niat dan kinerja partai diarahkan untuk melayani umat, tentu nalar politik yang menghalalkan segala cara akan berkurang. Dengan kata lain, konflik bisa diredam.
Selain itu, untuk menghindari perpecahan, partai politik hendaknya difokuskan sebagai media dakwah. Selaku partai dakwah, kata Hidayat, tentu akan memegang teguh prinsip bil hikmah wal mauidloh hasanah (meraih hikmah dan saling memberi masukan di jalan kebaikan).
Sebaliknya, jika di dalam proses politik itu muncul pertentangan atau perdebatan dari pihak-pihak terkait, hal itu bisa diminimalkan dengan prinsip billati hiya ahsan. Yakni, menggunakan cara berpolitik yang santun dan bermartabat. "Ajaran sederhana itu sangat manjur untuk mengeliminasi faktor-faktor yang akan mengumbar konflik," katanya.
Jika partai Islam terus berkutat pada konflik, justru umat yang kembali akan dikorbankan. Mereka akan berbondong-bondong meninggalkan komunitas Islam itu sendiri. Ke depan, kata Hidayat, situasi itu menjadi tantangan tersendiri bagi partai-partai Islam untuk secepatnya melakukan reorientasi secara tepat, sebagai gerakan dakwah Islam yang senapas dengan nilai-nilai demokrasi dan perubahan sosial. Sebab, Islam sendiri bukanlah benda mati yang tidak bisa secara objektif melihat perubahan.
Menurut Hidayat, akibat terjebak dalam kubangan konflik berkepanjangan, banyak partai Islam yang akhirnya tidak mampu bekerja optimal dalam membela kepentingan umat. Dia mencontohkan kasus lumpur panas Lapindo, kasus impor beras, kasus RUU Sisdiksnas, atau persoalan ujian nasional (UN). Masyarakat bisa menilai seberapa jauh partai Islam merespons dan melayani kepentingan umat.
Jika partai-partai Islam mampu secepatnya menata diri secara profesional, kata Hidayat, akan terbuka kemungkinan simpatisan parpol sekuleris atau bahkan komunitas nonmuslim sekalipun untuk memberikan dukungan kepada parpol Islam. Hal itu dibuktikan dengan data survei LSI dari hasil Pemilu 2004, yang mencatat sekitar 2,5 persen dari pemilih PKS ternyata dari komunitas nonmuslim.
"Jadi, jangan lagi partai Islam membuang-buang waktu sekadar untuk berkelahi, berdebat, saling sikut, dan menjatuhkan satu sama lain," kata Hidayat. Ketua Forum Dakwah Indonesia (FDI) itu juga mengimbau seluruh elemen partai Islam untuk kembali menata diri, mengotimalkan langkah, dan berpikir ke depan untuk kepentingan lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar