Jumat, 16 Oktober 2009

Buka Dialog dengan Kelompok Radikal


PERJALANAN sejarah Indonesia kerap diwarnai kehadiran kelompok garis keras. Berbagai motivasi melatarbelakangi gerakan-gerakan radikal seperti agama, etnik atau kedaerahan, ideologi, dan politik.
Orde Baru berhasil membungkam kelompok radikal dengan kekuatan militer. Setiap pemikiran yang berseberangan dengan pemerintah dimatikan. Namun, kelompok-kelompok itu hanya mati suri. Mereka kembali siuman pada era reformasi yang mengedepankan demokratisasi dan penghormatan kepada hak asasi manusia.
Kehadiran kelompok radikal di Tanah Air saat ini sudah menjadi sebuah fakta. Mereka memonopoli tafsir. Atas nama kebenaran yang dianut, mereka melanggar hak orang lain atau menabrak hukum.
Pendekatan represif atas kelompok radikal hanya mengembangbiakkan kekerasan. Itulah pelajaran yang bisa kita petik dari pergolakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak bisa padam dengan desingan peluru. Kekuatan bedil memang mampu mematikan raga, tapi tidak bisa memadamkan semangat. Hanya dialog yang mengantarkan GAM kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Kita juga bisa memetik hikmah dari kasus Amerika Serikat dalam membasmi terorisme. Negara adidaya itu hanya bisa menebar teror di Irak dan Afghanistan. Namun sama sekali tidak mampu melawan idealisme. Kedamaian yang diagungkan pun semakin jauh.
Sudah saatnya bangsa ini meninggalkan cara-cara represif. Sebab, kelompok moderat sekalipun bisa menjadi radikal setelah menyaksikan kekerasan demi kekerasan yang dipertontonkan di ranah publik.
Pemerintah perlu membuka diri untuk berdialog dengan siapa pun, termasuk kelompok garis keras dan orang-orang yang dituding sebagai teroris di Tanah Air. Dialog yang tulus mampu mengatasi sumbatan komunikasi. Sumbatan informasi justru memicu setiap orang atau kelompok mengambil jalan pintas.
Dialog tidak selamanya menggunakan jasa pihak ketiga seperti yang terjadi antara pemerintah dan GAM. Pemerintah harus mengambil inisiatif. Di sinilah letak persoalan bagi pemerintahan yang mementingkan citra semata. Hanya mau berdialog dengan kelompok pendukung dan cuma mau berbicara dalam temu kader sealiran politik.
Padahal, mengutip Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, pendekatan dialog akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbudaya dalam menghadapi kelompok garis keras.
Kehadiran kelompok garis keras bukan mustahil akibat kebijakan negara yang mengecewakan kebutuhan individu atau kelompok. Dialog mampu menjembatani perbedaan tafsir dengan tetap menegakkan supremasi hukum.
Pada akhirnya dialog tidak semata kewajiban satu arah, yaitu dari pemerintah ke masyarakat. Dialog harus juga menjadi pilihan dan tabiat utama masyarakat dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertikal. Hanya dengan begini, negara dan bangsa tenteram nyaman.

hnw.or.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar